Ketentuan mengenai Satuan Polisi Pamong Praja (“Satpol PP”) diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah(“UU 23/2014”) yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014yang telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015kemudian diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015.
Satuan Polisi Pamong Praja
Satpol PP dibentuk untuk menegakkan Peraturan Daerah (“Perda”) dan Peraturan Kepala Derah (“Perkada”), menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman, serta menyelenggarakan perlindungan masyarakat.[1]
Satpol PP adalah jabatan fungsional pegawai negeri sipil yang penetapannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[2] Satpol PP diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.[3]
Persyaratan untuk diangkat menjadi Satpol PP adalah:[4]
a. pegawai negeri sipil;
b. berijazah sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau yang setingkat;
c. tinggi badan sekurang-kurangnya 160 cm untuk laki-laki dan 155 cm untuk perempuan;
d. berusia sekurang-kurangnya 21 tahun;
e. sehat jasmani dan rohani; dan
f. lulus Pendidikan dan Pelatihan Dasar Polisi Pamong Praja.
Perlu diketahui bahwa Satpol PP yang memenuhi persyaratan dapat diangkat sebagai penyidik pegawai negeri sipil[5] (“PPNS”) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[6] Satpol PP yang ditetapkan sebagai PPNS dapat langsung mengadakan penyidikan terhadap pelanggaran Perda dan/atau Perkada yang dilakukan oleh warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum.[7]
Satpol PP mempunyai kewenangansebagai berikut:[8]
a. Melakukan tindakan penertiban non-yustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada.
Yang dimaksud dengan “tindakan penertiban non-yustisial” adalah tindakan yang dilakukan oleh polisi pamong praja dalam rangka menjaga dan/atau memulihkan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat terhadap pelanggaran Perda dan/atau Perkada dengan cara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak sampai proses peradilan.
b. Menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
Yang dimaksud dengan ”menindak” adalah melakukan tindakan hukum terhadap pelanggaran Perda untuk diproses melalui peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada.
Yang dimaksud dengan “tindakan penyelidikan” adalah tindakan polisi pamong praja yang tidak menggunakan upaya paksa dalam rangka mencari data dan informasi tentang adanya dugaan pelanggaran Perda dan/atau Perkada, antara lain mencatat, mendokumentasi atau merekam kejadian/keadaan, serta meminta keterangan.
d. Melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada.
Yang dimaksud dengan “tindakan administratif” adalah tindakan berupa pemberian surat pemberitahuan, surat teguran/surat peringatan terhadap pelanggaran Perda dan/atau Perkada.
Biasanya pada masing-masing daerah diatur lebih rinci mengenai Satpol PP seperti dalamPeraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 178 Tahun 2016 tentang Formasi Jabatan Fungsional Polisi Pamong Praja Pada Satuan Polisi Pamong Prajadan Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 4 Tahun 2013 tentang Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bekasi.
Penggunaan Senjata Api
Kemudian terkait pertanyaan Anda mengenai legalitas Satpol PP yang memiliki senjata, hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2010 tentang Penggunaan Senjata Api Bagi Anggota Satuan Polisi Pamong Praja(“Permendagri 26/2010”).
Jenis senjata api bagi anggota Satpol PP terdiri atas:[9]
a. senjata peluru gas;
b. semprotan gas; dan
c. alat kejut listrik.
Anggota Satpol PP yang dapat menggunakan senjata api meliputi:[10]
a. Kepala Satuan;
b. Kepala Bagian/Bidang;
c. Kepala Seksi;
d. Komandan Pleton; dan
e. Komandan Regu.
Selain pejabat Satpol PP, anggota Satpol PP yang melaksanakan tugas operasional di lapangan juga dapat menggunakan senjata api.[11] Jumlah senjata api yang dapat dimiliki untuk digunakan oleh anggota Satpol PP, paling banyak 1/3 dari seluruh anggota Satpol PP.[12]
Senjata api ini digunakan oleh anggota Satpol PP pada saat pelaksanaan tugas operasional di lapangan dengan berpakaian dinas.[13] Senjata api yang digunakan anggota Satpol PP tidak dapat dipinjamkan atau dipakai orang lain yang tidak memiliki izin penggunaan.[14]
Penggunaan senjata api tersebut sesuai dengan surat izin yang dikeluarkan oleh Kepolisian Daerah setempat.[15] Pemohonan izin penggunaan senjata api bagi Satpol PP diajukan oleh Gubernur/Bupati/Walikota kepada Kepala Kepolisian Daerah setempat melalui Direktur Intelijen Keamanan.[16]
Penggunaan senjata api di luar dari Surat Izin yang dikeluarkan oleh Kepolisian Daerah setempat, harus mendapat Surat Izin Angkut/Penggunaan Senjata Api dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Kepala Badan Intelijen Keamanan.[17] Kepala Satpol PP mengajukan Surat Izin Angkut/Penggunaan Senjata Api kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Kepala Badan Intelijen Keamanan dengan melampirkan rekomendasi dari Kepala Kepolisian Daerah setempat.[18]
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerahyang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014yang telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015kemudian diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja;
sumber :www.hukumonline.com